German Expressionism
Ekspresionisme Jerman sebagai sebuah gerakan seni berkembang pada tahun 1920-an, sangat terkait dengan kekecewaan era pasca-Perang Dunia I. Hal ini kontras dengan kanon realisme dan impresionisme yang berlaku dan, sebaliknya, berfokus pada pengalaman emosional subjektif, keterasingan dan kekerasan dalam kehidupan kota modern. Seniman seperti Wassily Kandinsky, George Grosz, dan Oskar Kokoschka, antara lain, menggunakan warna yang keras, garis agresif, dan distorsi radikal untuk menyampaikan dan membangkitkan emosi ekstrem.
Atas: Kabinet Dr. Caligari (1920)
Suasana kekecewaan dapat dilihat dalam ciri-ciri khas film ekspresionis Jerman: surealisme, atmosfer yang luar biasa, bentuk yang berbelit-belit, bayangan yang mencolok, dan karakter korup yang tidak dapat diandalkan. Film-film awal, khususnya, menggunakan latar non-realistis yang ekspresif (misalnya, bayangan yang tidak menyenangkan, objek yang dilukis di dinding), kontras yang mencolok, dan akting teatrikal. Gambar-gambar yang terdistorsi secara harfiah mencerminkan perspektif protagonis yang sering kali tidak waras. Meskipun representasi visualnya menantang realisme, kontennya (kegilaan, obsesi, pengkhianatan, halusinasi, dunia kriminal, dll.) dan fokus pada realitas emosional batin kontras dengan sinema komersial pada saat itu. Contoh awal film Ekspresionis Jerman yang paling terkenal mungkin adalah The Student of Prague (1913), The Cabinet of Dr. Caligari (1920), Golem (1920), Nosferatu (1922), Dr Mabuse the Gambler (1922). Metropolis karya Fritz Lang (1927) dan M (1931) juga sering disebut sebagai contoh Ekspresionisme Jerman.
Meskipun kekuatan Ekspresionisme memudar pada tahun 1930-an, citra gelap dan penggunaan cahaya berdampak besar pada sinema Amerika, setelah kebangkitan Nazisme memaksa banyak pembuat film Jerman beremigrasi dan membuat sutradara lain terkena gaya mereka. Gaya ekspresionis misalnya terlihat pada karya Otto Preminger, Alfred Hitchcock dan Orson Welles pada tahun 1940-an. Pengaruhnya sangat kuat terutama dalam film horor (misalnya, Dracula (1931) karya Karl Freund atau The Black Cat (1934) karya Edgar G. Ulmer dan film noir.
Banyak sarjana (misalnya, Thomas Elsaesser, James Naremore) melihat Ekspresionisme Jerman sebagai pendahulu langsung dari film noir, melalui pengalihan representasi atmosfer dari pola pikir paranoid, kota yang korup dan penuh dosa, serta femme fatale. Mungkin yang lebih menentukan adalah pengaruh gaya visual Ekspresionis Jerman, seperti komposisi bingkai, kontras cahaya dan bayangan, penggunaan kegelapan yang ekspresif, dan sudut kamera yang tidak biasa. Unsur stilistika ini terus digunakan dalam sinema kontemporer, misalnya dalam Blade Runner (bawah) atau karya Tim Burton.