Le quai des brumes (Port of Shadows – France 1938): Poetic Realism
Kabut kecemasan merembes dari wajah dua kekasih yang bernasib buruk di kegelapan Le Havre. Jean sedang dalam pelarian dan Nelly terperangkap dalam penjara psikis yang sama nyatanya dengan keterbatasan fisik yang dialaminya. Kebahagiaan adalah sesuatu yang mungkin ada tetapi tidak ada yang mengetahuinya.
Mereka bertemu secara kebetulan suatu malam di sebuah bar yang rusak di tepi pantai di antara sisa-sisa manusia yang fana. Panama adalah surga bagi orang-orang yang tertindas, yang dinamai berdasarkan topi pemilik tempat minum, seorang dukun tua dengan jiwa berkarat sedalam kanal yang dikunjunginya di masa mudanya. Seorang pendeta pengakuan dosa di sebuah biara untuk jiwa-jiwa yang terhilang. Dia memegang teguh nasihatnya, tidak bertanya apa-apa, dan memetik gitarnya.
Dan di mana-mana kabut dan pelabuhan dengan kapal-kapal berkarat berlabuh menunggu untuk diangkut. Kedua kekasih itu berjalan sebagai teman yang ragu-ragu dengan harapan yang sama sedihnya dengan yang agung, ketika kejernihan yang cerah menyusup, seorang pengecut dengan kebencian setajam pakaiannya dan cukurnya, dan sekejam kepengecutannya.
Malam penuh kebahagiaan pun tiba. Jean dan Nelly menemukan cinta di karnaval tepi pantai dan menemukan ikatan yang sulit dipahami yang kita semua cari – di sebuah kamar sewaan. Mereka terus merindukan Takdir yang jahat, seorang gelandangan pemabuk. Kejayaan fajar baru segera hancur. Mereka masing-masing pergi sendiri. Takdir memenuhi lembaran gairah semalam, dan mereka pun tersesat.
“Cium aku. Kita tidak punya banyak waktu.”