Noir à la Lubitsch
BAB 1: Setelan Hitam dan Senyum Tipis
Paris, 1938. Kabut tipis menggantung di antara lengkungan jembatan Pont Neuf, sementara lampu-lampu jalan menyulap bayangan panjang di permukaan batu basah. Dalam kabut dan siluet malam, berdiri seorang pria dengan setelan rapi, dasi kupu-kupu, dan senyum yang tak jelas artinya.
Namanya Lucien Delorme. Ia bukan detektif, bukan pula penjahat. Ia seseorang yang menyukai komplikasi, terutama yang beraroma parfum mahal dan kebohongan lembut. Lucien selalu berkata, “Hidup ini terlalu singkat untuk kejujuran yang membosankan.”
Di sebuah kafe bernama Le Canapé Rouge, dia bertemu muse-nya malam itu: seorang wanita bergaun sutra merah dengan mata seperti anggur tua—manis, pahit, dan memabukkan. Namanya: Claire Moreau.
“Aku dengar kau bisa menyembunyikan rahasia seperti menyembunyikan botol sampanye dalam mantel wol,” katanya sambil duduk tanpa diundang.
Lucien tersenyum. “Dan kau pasti seseorang yang suka membocorkan keduanya.”
BAB 2: Piano, Peluru, dan Permainan Kata
Claire tidak datang untuk bercumbu. Ia membawa masalah. Suaminya, seorang bankir kaya, hilang secara misterius. Tidak ada surat, tidak ada jejak. Tapi entah mengapa, ia tidak terlihat sedih. Hanya gelisah, seperti aktris panggung yang lupa naskahnya.
Lucien bukan penyelidik, tapi ia terlalu penasaran. Terutama karena Claire menyelipkan selembar foto di bawah cangkir espresso-nya. Foto itu menunjukkan pria itu sedang tertawa bersama seorang wanita lain—bukan Claire.
“Siapa dia?” tanya Lucien.
Claire meneguk minuman kerasnya dan berbisik, “Kekasihnya. Atau mungkin pembunuhnya. Aku tak peduli mana.”
Malam itu mereka ke apartemen kosong milik sang suami. Lampu-lampu temaram, piano di sudut ruangan, dan sepasang sarung tangan kulit di atas meja—sarung tangan wanita.
Lalu terdengar suara: klik. Sebuah pistol.
“Permainan dimulai,” gumam Lucien, masih tersenyum.
BAB 3: Ciuman Terakhir di Balik Tirai
Segalanya berubah saat Lucien bertemu Étienne, saudara laki-laki Claire yang “katanya” datang untuk membantu. Tapi Étienne terlalu ramah, terlalu rapi, dan terlalu tahu banyak. Ia bahkan tahu tempat penyimpanan rahasia di balik piano.
“Tuan Delorme,” katanya dengan nada licin, “kadang cinta bisa membunuh lebih cepat dari peluru.”
Malam berikutnya, Lucien dan Claire kembali ke Le Canapé Rouge. Anggur mengalir, kata-kata menggoda beterbangan. Tapi mata Claire lebih tajam dari biasanya. Ia menyodorkan surat.
Isinya pengakuan suaminya: bahwa ia menggelapkan uang, hendak melarikan diri, dan Claire tahu semuanya.
Lucien menatap Claire. “Jadi… kau mencintainya, lalu membencinya, lalu mencariku agar kita bisa pura-pura peduli?”
Claire mendekat. “Tidak. Aku hanya butuh seseorang yang bisa berpura-pura lebih baik dariku.”
BAB 4: Lubitsch Touch
Lucien menyerahkan surat itu ke polisi. Tapi ia membakar salinan bukti lain. Claire bebas. Étienne lenyap. Dan Lucien kembali ke meja kafenya yang biasa.
Pelayan mendekat. “Monsieur, Anda tampak kehilangan sesuatu.”
Lucien melirik. “Mungkin. Tapi seperti film Jerman yang terlalu romantis—aku lebih suka akhir yang ambigu.”
Ia tertawa pelan. Lalu menyalakan rokok. Di luar, kabut masih menyelimuti kota. Dan seperti biasa, Lucien menatap kekosongan dengan senyum tipis—senyum orang yang tahu bahwa hidup bukan soal benar atau salah, tapi tentang siapa yang lebih dulu tertawa di akhir cerita.