Noir: Compassion in the Shadows
‘makna’ dari kota noir tidak ditemukan dalamdetail permukaan narasi, tetapi dalam bayangannya, dalam hal-hal yang tidak berwujud dari nada dan suasana hati.
– Frank Krutnik, ‘Sesuatu yang Lebih dari Sekadar Malam’, Kota Sinematik (edisi David B. Clarke), hal 98-99
Semakin banyak saya membaca tentang film noir, semakin saya yakin bahwa hanya sedikit pakar, kritikus, akademisi, atau blogger film yang benar-benar memahami film noir. Tentu, ada banyak yang menulis dengan lirik yang memikat, ada yang dapat meniru dengan sempurna bahasa gaul yang kasar, dan ada yang memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah dan hal-hal yang misterius, tetapi kebanyakan tidak memahami film noir.
Noir adalah estetika semiotik. Ini bukan tentang permukaan, ini tentang bayangan. Narasi noir hanyalah kerangka kerja untuk menyatukan visi kehidupan yang gelap tetapi sangat bermoral. Noir tidak ambivalen secara moral: ia tidak memaafkan dan pelanggar membayar pelanggarannya. Sementara hukuman takdir tidak dapat dihindari, ada peluang penebusan, dan penebusan datang dari belas kasih yang dalam. Belas kasih yang datang dari pengetahuan tentang kekacauan dan kontingensi yang sama sekali acak di inti keberadaan. Noir melampaui keputusasaan kaum eksistensialis, ia menemukan jiwa dalam kegagalan manusia yang putus asa dan sering kali penuh kekerasan. Jiwa yang tidak berwujud tetapi meresapi realitas fisik dengan mewujudkan dosa dan keinginan kita dalam bayang-bayang gelap malam, ketika mantel kesadaran yang mengasingkan larut ke tempat-tempat di mana jiwa-jiwa yang hilang berkeliaran: tempat-tempat menyelam, jalan-jalan kota yang gelap, pantai-pantai terpencil yang sepi, jalan-jalan desa yang berdebu, rumah-rumah petak yang kumuh, dan tangga-tangga yang lembap.
Lupakan semua yang telah Anda baca tentang film noir dan lihatlah film noir dengan mata dan telinga Anda sendiri. Selamat datang di dunia bayang-bayang.