The last train at the end of the line…

Jalanan kosong dengan kecemasan yang dicuri. Penjaga baja yang diam adalah hantu dari kengerian yang tersembunyi. Langkah yang melumpuhkan pada suatu waktu. Napasmu terengah-engah dan banjir merah adalah keberadaan yang surut. Tersandung dan jatuh kembali ke sumber air mancur. Kamu tahu di sinilah semuanya dimulai dan berakhir. Sendirian. Makhluk yang sekarat dari malam panjang kota yang sedang tidur. Kamu mati-matian mencoba menahannya tetapi kamu tidak dapat membendung gelombang takdir. Jatuh dengan keras di atas tar basah dalam cahaya kuning suram dari lampu jalan yang memudar, kepalamu hancur menjadi ribuan fragmen kenangan yang berpacu. Sebuah kebahagiaan yang tinggi menghujani tubuhmu yang terlentang, seikat kain perca yang berkilauan. Mulutmu terisi dengan madu hitam yang manis, dan kamu akhirnya menemukan semacam kedamaian, selokan bantal lembut untuk menatap bintang-bintang. Langit yang melindungi dari kegelapan yang tak terlihat jatuh dengan lembut ke arahmu.
Kereta tengah malam bergemuruh. Trotoar menjadi platform yang bergema di ujung jalur. Sepanjang jalan. Tanpa berhenti. Berangkat dalam satu menit. “Semua naik”. Tidak ada yang tertinggal. Semua kursi sudah dipesan. Siapa yang membuat reservasi itu? Dan kapan? Apakah Tuhan dalam ketidakpeduliannya yang tak terbatas di tahun nol? Atau apakah ibumu dengan cinta tak terbatas memanggilmu kembali ke rahim saat kau meninggalkannya. Lakukan sesuatu! Wujudkan itu. Wujudkan itu seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sekali saja. Terlambat. Satu upaya terakhir yang sia-sia untuk kembali, lalu kau menyerah. Sirene menjerit. Ratapan orang yang dihukum sebagai paduan suara yang gelap melakukan pertempuran sia-sia dengan gemuruh dan desisan lokomotif saat menarik gerbong menjauh dalam awan uap yang kotor.